Dua Warga Buloh Seuma berjalan di jalan yang baru saja dilakukan pengerasan. |
Minggu, 15 Juni 2014, saya bersama sembilan teman melakukan perjalanan ke wilayah pedalaman Buloh Seuma, Aceh Selatan. Kami bertolak ke sana dari Kota Tapaktuan sekitar pukul 09.00 pagi menggunakan dua mini bus.
Sebelum bertolak ke Buloh Seuma, kami berjumpa dengan Camat Trumon di rumahnya. Cerita camat tersebut, kini untuk menuju ke Buloh Seuma sudah bisa ditembusi dengan mobil. Bahkan katanya, dia sudah dua kali pulang-pergi ke sana dengan menggunakan mobilnya.
Setiba di Desa Teupin Tinggi Trumon, mobil kami tinggalkan di sebuah rumah warga desa setempat. Karena menurut cerita dari warga, jalur menuju ke Buloh Seuma susah untuk ditembusi dengan menggunakan mini bus semacam yang kami tumpangi.
Kemudian kami yang dibimbing oleh Sekretaris Desa Raket --satu dari tiga desa di Buloh Seuma-- memilih menyewakan sebuah mobil pick up milik seorang warga di Teupin Tinggi.
Dari Teupin Tinggi, kami berangkat sekitar pukul 21.30 WIB. Setelah melalui perjalanan yang panjang di malam hari itu, kemudian sekitar pukul 00.30 kami tiba di Desa Raket, Buloh Seuma.
Selama di Buloh Seuma, kami menginap di rumah Sekdes Raket, Zainal. Malam itu kami mengobrol banyak soal Buloh Seuma dengannya. Buloh Seuma merupakan daerah di pedalaman Kabupaten Aceh Selatan. Terdapat tiga desa di sana yaitu Desa Kuta Padang, Desa Raket, dan Gampong Teungoh. Tiga desa itu hingga saat ini masih terisolasi dengan dibatasi Samudra Hindia dan Hutan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Dan Buloh Seuma dikenal sebagai daerah penghasil madu.
Menurut cerita Zainal, dulunya lalu-lintas/transportasi menuju Buloh Seuma hanya melalui jalur laut menggunakan boat. Namun sekarang Buloh Seuma sudah bisa ditembus melalui jalan darat.
Masyarakat di Buloh Seuma bersiap pergi makan-makan ke Pantai. |
Memang saat kami melakukan perjalanan ke sana menggunakan mobil pick up, kami sering harus turun naik dari mobil karena kondisi jalannya yang belum sempurna. Faktor tanah lahan rawa menjadi penyebabnya. Ditambah lagi faktor hujan. Sehingga mobil yang kami tumpangi harus didorong beberapa kali.
Tidak hanya jalan tembus tersebut, Zainal juga mengaku kalau tidak ada halangan dan rintangan Buloh Seuma akan segera dialiri oleh jaringan listrik dari PLN. Ya sepanjang jalan menuju ke sana, saya melihat para pekerja sedang mendirikan tiang-tiang listrik. Namun pemasangan aliran listrik tersebut baru selesai hingga pertengahan jalan menuju Buloh Seuma dari Teupin Tinggi tempat para pekerja pemasangan listrik tinggal.
Kata Zainal, pemasangan listrik tersebut dibangun seiring dibukannya jalan tembus menuju Buloh Seuma. Mungkin sekitar dua bulan lagi aliran listrik tersebut sudah selesai, sebutnya.
Sementara hingga sekarang ini, masyarakat Buloh Seuma di tiga desa masih hidup tanpa listrik dari PLN. Hanya ada panel solar (penghasil listrik tenaga surya) di rumah-rumah warga. Sehingga suasana malam di sana tidak begitu terlihat ramai. Faktor ketiadaan listrik sehingga tidak bisa beraktifitas membuat mereka tidur lebih awal dibandingkan orang-orang di perkotaan.
Selebihnya, ada juga keluarga yang pada malam hari rumahnya terlihat terang. Hanya saja sumber cahayanya bukan dari PLN, akan tetapi bersumber dari mesin genset yang mereka beli sendiri.
Sehingga malam itu di Buloh Seuma kami tidak dapat menonton laga Piala Dunia. Dan gegap gempita meriahnya Piala Dunia tidak terlihat di sana. Masyarakat di sana tidak menonton Piala Dunia. Ketiadaan listrik menjadi penyebabnya. Atau bisa jadi juga karena tidak suka menontonnya.
Dari dua hal itu --pembangunan jalan dan pemasangan aliran listrik-- kini masyarakat di Buloh Seuma mengaku sangat bersyukur. Karena kalau sebelum adanya jalan tersebut, cerita Zainal, untuk pergi ke Trumon mereka harus terlebih dahulu membaca dan melihat gelombang di laut. Sehingga kalau gelombang laut lagi tinggi, rencana mereka bepergian menjadi tertunda.
Hanya saja, di sana kita masih susah untuk berkomunikasi menggunakan handphone. Jaringan telekomunikasi masih susah untuk dijangkau dan didapatkan oleh pengguna handphone. Sehingga untuk berkomunikasi memakai handphone harus dengan mencari titik tertentu yang dapat sinyal. Hanya ini yang masih dikeluhkan oleh warga yang sudah menggunakan handphone. Jadi pembangunan tower telekomunikasi di Buloh Seuma perlu dilakukan agar masyarakat di sana mudah dalam berkomunikasi dengan sanak familinya yang ada di luar daerah. Juga akan memudahkan mereka dalam membangun hubungan bisnis untuk penjualan madu yang merupakan penghasilan andalan masyarakat Buloh Seuma.
Masyarakat di pedalaman Buloh Seuma, Aceh Selatan. |
Sekian cerita sebagai sebuah refleksi dari Buloh Seuma yang "nyaris merdeka" menjelang genap Dua Tahun Pemerintahan Zikir yang saya ikutsertakan dalam lomba Pemerintahan Zikir di Mata Blogger. Zaini-Muzakkir (Zikir) dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada 25 Juni 2012. Mereka merupakan pasangan terpilih dalam Pemilukada tahun itu untuk memimpin Aceh selama lima tahun; 2012-2017.
Buloh Seuma memang harus diselamatkan, mantap Mas Bro tulisannya. :D
ReplyDeleteyup. setuju banget!
ReplyDeleteThanks ya.. Tapi safariku milikmu itu lbh mantap lg. :)
Selamat Awik, tulisan ini meraih juara III Lomba Blog Dua Tahun Pemerintahan Zikir :)
ReplyDelete