Berwisata Tsunami di Banda Aceh




Tuesday, April 29, 2014
http://assets.kompas.com/data/photo/2012/12/25/2106377-kapal-di-atas-rumah-620X310.jpg
Kapal di atas rumah. (Sumber foto: Kompas.com)

Berwisata tsunami di Banda Aceh. Mengingat tsunami lewat objek wisata.

DI JALAN TANJUNG, Kampung Lampulo, terdapat sebuah kapal di atas rumah yang kini ramai dikunjungi orang. Sejatinya kapal itu di laut digunakan oleh nelayan untuk melaut. Tetapi tragedi tsunami pada akhir tahun 2004 silam, telah membuat kapal tersebut terdampar ke situ.

Di bawah lambung kapal itu terdapat prasasti yang menceritakan kisah singkat mengenai kapal tersebut. Prasasti itu dituliskan dalam tiga bahasa yakni bahasa Aceh, Inggris dan Indonesia. 
Ya. Melihat kapal di atas rumah ini membuat kita jadi bisa membayangkan sendiri betapa dahsyatnya tsunami yang meluluhlantakkan Aceh. Letak dan bentuk asli kapal itu dibiarkan tanpa diubah-ubah oleh Pemko Banda Aceh. Pemilik rumahnya pun tidak keberatan kapal tersebut dijadikan objek wisata sejarah.
Saat tsunami terjadi, kapal yang terdampar dari pelabuhan perikanan/TPI Lampulo yang jaraknya berkisar satu kilometer ini menjadi tempat perlindungan warga setempat. Mereka naik dan masuk ke dalam kapal sehingga 59 warga terselamatkan dari bencana terjangan gelombang tsunami.

Beranjak sedikit jauh dari kapal atas rumah tersebut, tepatnya di Jalan Sultan Iskandar Muda seputaran Blang Padang terdapat Museum Tsunami Aceh. Gedung yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2008 itu kini ramai dikunjungi masyarakat.
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1439049710869&set=pb.1671836971.-2207520000.1398850590.&type=3&theater
Museum Tsunami. (sumber foto: Ahmad Ariska)
Museum Tsunami hasil rancangan arsitek M Ridwan Kamil diharapkan menjadi objek sejarah dan pusat penelitian tentang tsunami, sekaligus simbol kekuatan masyarakat Aceh menghadapi bencana tsunami. Juga sebagai warisan kepada generasi mendatang bahwa di Aceh pernah terjadi bencana tsunami.

Sebelum memasuki pintu masuk, pengunjung akan melihat sebuah helikopter polisi yang hancur diterjang tsunami. Lalu mulai memasuki lorong yang sempit, menjulang dan temaram. Di sisi kiri dan kanan mengalir air dan suara gemuruh air seakan mengingatkan peristiwa tsunami.

Lalu saya memasuki ruangan yang terdapat sejumlah bentuk monumen yang di atasnya terdapat sebuah LCD memperlihatkan foto-foto saat peristiwa tsunami, seperti bangunan yang hancur, kapal di atas rumah, mayat-mayat bergelimpangan. Melihat gambar-gambar yang ada di dalam LCD itu hati ini jadi terenyuh.

Ruang berikutnya adalah Ruang Sumur Doa. Di ruangan ini terdapat ribuan nama-nama korban tsunami. Melihat ke atas sana ada sebuah cahaya dan tulisan "Allah". Setelah itu saya naik ke lantai dua dengan melewati jembatan yang di bawahnya terdapat kolam.

Memasuki sejumlah ruang di lantai dua, tersaji foto-foto bertemakan Aceh baik sebelum, saat dan sesudah tsunami. Juga ada ruang audio visual yang menyuguhi film saat tsunami melanda Aceh.

Selanjutnya naik ke lantai tiga terdapat ruangan sebagai memorabilia. Ada beragam benda bekas tsunami tersaji di sini yang umumnya sumbangan dari warga beserta sejumlah diaroma. Juga ada ruangan yang memberikan informasi tentang tsunami dan bencana lainnya serta ruang simulasi gempa.

Keluar dari Museum Tsunami, saya melanjutkan perjalanan ke objek wisata tsunami kapal apung di Desa Punge Blang Cut, yang berjarak sekitar 1 kilometer.

http://www.acehkita.com/wp-content/uploads/2012/12/Photo-PLTD-Apung.jpg
Kapal apung. (Sumber foto: Acehkita.com)
Memasuki pelataran monumen kapal PLTD apung, pengunjung dianjurkan untuk mengisi buku tamu dan memberikan kesannya. Di sisi kiri pintu masuk, sebuah prasasti pengingat tsunami berdiri. Di sana tertulis nama-nama korban tsunami dari desa tersebut.

Kapal besar itu juga menjadi bukti kedahsyatan tsunami. Saat tsunami datang, kapal berbobot 2.500 ton dengan panjang 63 meter yang difungsikan sebagai pembangkit listrik di lepas pantai Ulee Lheu ini digiring ombak raya ke tengah permukiman warga.

Naik ke atas kapal, pengunjung akan tahu betapa jauh kapal itu terseret arus tsunami. Sebab dari geladak setinggi 20 meter lebih akan terlihat laut dan dermaga Ulee Lheu tempat dasar kapal itu bersandar.

Turun dari kapal PLTD apung, berjalan ke arah Pelabuhan Ulee Lheu di persimpangan hendak menaiki jembatan, terdapat Masjid Baiturrahim di sebelah kiri jalan. Masjid ini satu dari sedikit bangunan yang tetap kokoh berdiri meski dihantam gelombang tsunami.
http://www.acehkita.com/wp-content/uploads/2012/04/Tsunami-Landmark_Chaideer-Mahyuddin-8.jpg
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue. (Sumber foto: Acehkita.com)
Kawasan Ulee Lhee, tempat masjid itu berdiri, yang berada persis di tepi laut salah satu wilayah yang parah terkena dampak tsunami. Umumnya bangunan di wilayah ini rata dengan tanah dihantam air bah. Ribuan jiwa menjadi korban. Tetapi masjid itu tetap kokoh berdiri di tengah hamparan puing bangunan sekitarnya, hanya kubahnya saja yang runtuh. 

Kini keberadaan Masjid Baiturrahim itu pun telah menjadi daya tarik wisata di Banda Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman. Pengunjung yang datang ke masjid tersebut umumnya tidak hanya sekadar mengabadikan, namun mereka banyak yang menyempatkan diri untuk salat di masjid ini.[@husainiende]
 

Flickr Images

Video of the day

Copyright © 2015 • Aceh Plus
Blogger Templates