SUDAH 82 TAHUN Sumpah Pemuda dideklarasikan, namun Raisa Kamila tidak punya gambaran yang kuat tentang Indonesia. “Kecuali video-video artis cilik di televisi, upacara bendera dan lagu kebangsaan.”
Gambaran itu tersurat dalam essay Raisa yang berjudul ‘Tidak Menjadi Indonesia’. Lewat essay itu, gadis kelahiran Banda Aceh, 15 Mei 1991terpilih sebagai pemenang pertama Kompetisi Esai Mahasiswa 2010 "Menjadi Indonesia" yang diselenggarakan Tempo Institute, Sekretariat Dewan Ketahanan Nasional, dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa.
“Awalnya saya sempat pesimis melihat daftar naskah lainnya yang begitu banyak,” ujar Raisa. Namun setelah mendapat pengumumannya, Mahasiswa Semester Pertama Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada itu juga bingung harus bagaimana.
Raisa dalam penggalan essay juga menuliskan, sewaktu kecil, saya lebih sering merasa ‘menjadi Aceh’ ketimbang ‘menjadi Indonesia’. Dan lebih sering bertanya-tanya, apakah saya yang dari Aceh juga bisa tampil di televisi?
Sehingga pantas saja ia menjawab, “Saya merasa ingin merayakannya dengan teman-teman di Aceh.”
Selama ini, menurutnya, apa yang seringkali disebut ‘nasionalisme’ seakan-akan terbatas hanya pada hal-hal yang bersifat simbolik; bendera, lagu, dan ‘keindah-aneka-ragaman budaya’ yang dengan bangga dielu-elukan.
“Jiwa tawaran-tawaran untuk menjadi bangga dan cinta pada Indonesia hanya tersedia dalam paket-paket sekejap-siap-jadi, lebih baik saya tidak menjadi Indonesia,” ditulis lulusan Sekolah Menulis Dokarim itu di paragraf akhir essay.
Lewat Essay itu, Raisa seakan mengajak kita untuk memaknai lebih dalam lagi, mengapa kita mencintai Indonesia dan bagaimana. []
0 komentar:
Post a Comment