SABTU (22/11/2008) SEKITAR pukul 09.00 WIB, di salah satu toko berlantai tiga di Jalan T. Iskandar Beurawe, Banda Aceh dihadiri oleh banyak orang. Sejumlah papan ucapan selamat pun dipasangkan di pinggiran jalan. Terlihat kursi-kursi telah diatur berjajar di bawah tratat.Mereka adalah para jurnalis dan calon-calon jurnalis.
Mereka hadir untuk mengikuti peresmian sekolah yang operasionalnya didanai oleh Development and Peace (D&P) selama dua tahun. Sebuah lembaga non-pemerintah asal Kanada yang menyatakan rencana pembentukan sekolah tersebut hanyalah untuk mencetak kader jurnalis bermutu di Aceh.
Sekolah yang diprakarsai oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJ) Kota Banda Aceh sejak tiga tahun yang lalu itu bernama Muharram Journalism College (MJC). Sebuah nama yang disematkan atas seorang wartawan Aceh yang dikenal handar, professional, berani dan bertanggungjawab, yakni almarhum Muharram.
Muharram yang bernama lengkap Muharram M Nur, telah menjadi korban dalam musibah tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam akhir 2004 silam setelah berusaha mengabadikan penjara Kajhu yang hancur usai gempa. Ketika itu, Muharram bekerja untuk Tabloit Kontras.
Sosok panutan bagi jurnalis Aceh itu lahir di Desa Ulee Tutue Raya Gampong Aree, Delima, Sigli pada tanggal 5 Maret 1962. Dia pernah menjabat sebagai ketua AJI Banda Aceh periode 2002-2004.
Muharram adalah anak sulung dari delapan bersaudara pasangan Nur Asiyah dan alm. Muhammad Nur. Dalam keluarganya, ia dikenal sebagai seorang yang cerdas di masa kecilnya. "Dia sering lompat kelas ketika di bangku sekolah," sebut Nur Asiyah.
Muharram kecil mempunyai hobbi membaca. "Dia sangat suka membaca. Apa saja dia baca," ujar ibunya. Terutama sekali membaca Alquran, sebut adiknya, Aisyatul Radhiah.
Mengenang abangnya, Aisyatul menceritakan, Muharram kecil gemar sekali membuat mobil dari pelepah rumbia. "Sangat indah-indah mobil-mobilan buatannya," ujar Aisyatul.
Dalam keluarga bersama adik-adiknya, Muharram dikenal mempunyai jiwa kepemimpinan. "Sejak kecil di depan adik-adiknya, dia sering melakukan muhadharah (pidato) sambil meletakkan bantal di depan tempat duduknya," kenang ibunya.
Awal hobbi kewartawanannya, Aisyatul menyebutkan, abangnya selalu berlangganan koran dan mendengar siaran radio BBC London sejak di bangku Pendidikan Guru Agama (PGA).
Nama Muharram, menurut Ibunya, karena sosok wartawan yang diabadikan namanya sebagai nama sekolah jurnalistik itu secara kalender tahun hijriyah dilahirkan di bulan muharram.
Sekolah kewartawanan yang membuka tiga kelas, yaitu media cetak, radio dan televisi tersebut digagas sebagai bentuk kepedulian AJI KotaBanda Aceh terhadap peningkatan mutu jurnalis di Aceh.
Rektor Muhammar College, Maimun Saleh mengatakan, selama tiga tahun terakhir ini AJI berkontrensasi dalam pengembangan kapasitas jurnalis dan pekerja pers kampus.
Dalam kesempatan perdana ini, sebanyak 60 mahasiswa telah dinyatakan lulus untuk mengikuti program pendidikan jurnalistik di Muharram College. Mereka terdiri dari mahasiswa, pegiat pers kampus dan jurnalis pemula.
Di MJC, ke-60 mahasiswa tersebut akan dibekali ilmu jurnalistik baik teori juga praktik. Mereka diharapkan akan menjadi generasi insan pers di masa depan. Setidaknya, direncanakan mereka mampu menjadi juru kabar komunitas setempat.
Usai pengguntingan pita oleh Debra Bucher dari Kanada dan ibunya Muharram, semua mahasiswa segera mengikuti kuliah umum hari pertama belajar bersama Bekti Nugroho dari Dewan Pers.
Soal pendirian Muharram College, Bekti mengaku salut kepada AJI Banda Aceh. "Saya bangga AJI sanggup mendirikan sekolah jurnalistik seperti ini. Sementara Dewan Pers saja tidak sanggup," ujar Bekti, reporter RCTI.
Memang, Muharram telah pergi untuk selamanya sejak empat tahun lalu. Namun, sejak kemarin pagi, nama almarhum Muharram telah diabadikan. Dia disekolahkan oleh AJI Banda Aceh menjadi Muharram Journalism College. [tl]
0 komentar:
Post a Comment