Kelima pemuda itu terlihat lagi sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka tidak saling berbicara satu sama lain.
Hari itu, Sabtu 23 Oktober 2010. Aku mencatatnya di buku catatan kecilku. Aku datang ke warung kopi tersebut setelah diberitahukan oleh seorang teman bahwa akan ada diskusi di sana. Namun ketika aku tiba, diskusinya belum mulai. Kelima pemuda yang sudah lebih dahulu tiba dari aku, masih menunggu sejumlah peserta lainnya untuk memulai diskusi.
Salah seorang di antara peserta yang telah hadir adalah Herman RN. Sesampai di lantai dua, aku langsung menyapanya. Ia tidak asing lagi bagiku. Aku telah mengenalnya sejak belajar menulis di Seuramoe Teumuleh. Kebetulan waktu itu, ia sebagai fasilitator kelas.
Ketika kusapa, Herman sedang mengetik di depan layar laptopnya. Setelah terlibat perbincangan singkat, rupanya ia sebagai seorang panitia diskusi tersebut.
Menurutnya, diskusi di warung kopi itu adalah diskusi pertama yang diagendakan oleh lembaga Prodeelat. Rencananya diskusi serupa akan dijadikan diskusi rutin setiap bulanan dengan membahas berbagai persoalan yang terjadi di Aceh. “Diskusi di warung kopi kesannya lebih santai dan rileks,” katanya.
Karena masih menunggu peserta, lalu aku menyuruhnya untuk menulis status di dinding facebook untuk mengabarkan bahwa diskusi akan segera dimulai. "Agar orang yang melihatnya tahu dan datang cepat-cepat kemari," ujarku.
Sebentar kemudian, satu per satu peserta berdatangan. Ruangan itu mulai ramai. Tepatnya jarum jam menunjukkan angka 09.30 WIB, diskusi itu pun baru dimulai.
Herman membuka acara. Ia bertindak sebagai moderator. Setelah menyampaikan sepatah dua kata, ia memperkenalkan Fuad Mardhatillah UY Tiba sebagai pemateri hari itu. Fuad tampil dengan membahas tema seputar gerakan sosial di Aceh.
Pemilihan warung kopi sebagai tempat berdiskusi juga dilakukan oleh lembaga Aceh Institute. Tepatnya Rabu sore, 25 Agustus 2010 (aku mencatatnya di notesku), Aceh Institute mengadakan acara bedah buku Hasan Tiro, The Unfinished Story of Aceh sekaligus diskusi seputar tokoh dan kiprah Hasan Tiro bagi Aceh dengan menghadirkan tiga pembedah yakni Yarmen Dinamika, Fajran Zain dan Reza Idria.
Acara bedah buku dan diskusi tersebut berlangsung di Cafe Pustaka, Punge. Sesuai dengan namanya, selain terdapat meja dan kursi sebagai tempat menikmati kopi sambil berselancar di dunia maya, dalam cafe itu juga terlihat banyak buku-buku yang dipajang dalam lemari kaca dan di rak buku.
Sebelum diubah menjadi Cafe Pustaka, ada sebuah balai yang berkonstruksi kayu dan beratapkan rumbia dibangun di dalam ruangan tersebut. Balai itu diberi nama ‘Bale Seumikee’ (balai tempat berpikir).
Seiring semaraknya pertumbuhan warung kopi di Aceh, Bale Seumikee itu diubah wujudnya menjadi Cafe Pustaka.
Dalam catatatku, dua tahun lalu tepatnya Kamis, 9 Oktober 2008, aku pernah menghadiri diskusi yang diadakan di balai tersebut. Hari itu, Aceh Institute menghadirkan Anthony Reid sebagai pembicara.
Dalam diskusi itu, Reid sebagai pakar sejarawan yang telah menulis sejumlah buku tentang Aceh menyebutkan, Aceh butuh pemimpin yang mampu merawat damai. Alasannya, agar Aceh tidak lagi terperosok dalam konflik yang sudah dimulai sejak 1873.
Pertumbuhan warung kopi di Aceh bak cendawan di musim hujan. Sehingga pantaslah rasanya kalau Aceh sering dijuluki ‘Negeri Warung Kopi’ atau ‘Kota Sejuta Warung Kopi’.
Perkembangan bisnis warung kopi di Aceh sangat signifikan pasca damai. Nuansa warung kopi pun ikut berubah dari ala kadar yang terkesan tradisional menjadi mewah dan modern dengan berbagai fasilitas dan aksesoris. Pemberian nama-namanya juga kian bervariasi dan diperhatikan.
Logo Visit Aceh |
Usaha warung kopi sekarang juga hadir dalam bentuk bangunan yang besar dan mewah. Tempat dan ruangnya pun ditata dengan indah layaknya seperti cafe-cafe di luar negeri. Juga dilengkapi dengan fasilitas akses internet (wireless fidelity) dan terkadang memakai jasa perempuan-perempuan muda sebagai pekerjanya.
Itu berbeda dengan umumnya warung-warung kopi tempo doeloe dimana umumnya hanya berukuran satu pintu toko dengan bermeja papan dan kursi kayu. Kesannya sangat sederhana.
Fenomena pertumbuhan warung kopi sangat terasa sekali khususnya di tengah Kota Banda Aceh. Warung kopi ada di setiap sudut kota. Dan anehnya, semua warung kopi tersebut selalu ramai dikunjungi oleh para pencandu kopi setiap hari baik pagi, siang dan malam.
Kebiasaan nongkrong di warung kopi tersebut dilabelkan sebagai budaya orang Aceh. Pelabelan ini tentunya bukan tanpa alasan, namun didukung oleh data dan fakta di lapangan.
Siapa pun yang datang dan menginjakkan kakinya di Aceh, maka dengan mudah akan menemukan warung-warung kopi yang bertaburan di mana saja. Nyaris di semua sudut bumi Aceh kita dapat menemukan warung kopi, dari yang wujudnya warung kopi orang kampungan sampai dengan warung kopi mewah kelas menengah dan elit.
Lebih seru lagi, di kalangan pendatang yang berwisata ke Aceh, malah beredar pemeo seolah-olah kalau ke Aceh tidak sempat nongkrong di warung kopi, maka hal itu dipandang sebagai sesuatu yang belum lengkap dalam perjalanan wisatanya ke Aceh.
Hingga kini, pro-kontra atas anggapan kebiasaan nongkrong di warung kopi sebagai bagian dari budaya Aceh masih menjadi sebuah perdebatan di kalangan tokoh-tokoh masyarakat Aceh.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Badruzzaman Ismail dengan jelas dan tegas menolak anggapan bahwa kebiasaan nongkrong di warung kopi sebagai bagian dari budaya Aceh.
“Fenomena nongkrong di warung kopi sebagaimana berkembang saat ini tidak dijumpai dalam masyarakat Aceh dulu,” ujarnya.
Menurutnya, dulu warung kopi hanya ada di peukan (pasar) dan kaum lelaki yang dulu biasanya berbelanja di pasar memanfaat jasa warung kupi sebagai tempat istirahat sejenak sambil meneguk segelas kopi.
“Orang-orang tua di Aceh dulu melarang keras anaknya duduk-duduk di warung kopi, bahkan orang-orang tua yang kebetulan duduk di warung kopi akan mengusir jika ada anak-anak yang mencoba untuk nongkrong di warung kopi,” sebut Badruzzaman seperti dikutip dari baleemukin.blogspot.com.
Lain warung lain pelanggannya. Kesan yang terlihat terkadang pelanggan sebuah warung kopi hanya orang-orang itu saja. Mereka sudah keasyikan di satu warung tersebut seperti sudah terikat batin saja.
Para pelanggan warung kopi di Aceh bahkan bisa dikelompokkan berdasarkan usia dan profesinya. Sehingga kesan topik yang sering berlangsung di suatu warung kopi itupun menjadi kelas dan andalan tersendiri.
"Yang ngopi di sini umumnya para kontraktor," sebut seorang teman, Rizki saat ngopi di Cut Nun Lambhuk suatu malam. Rizki bekerja di sebuah lembaga konsultan proyek di Banda Aceh.
Malam itu kami larut dalam perbincangan seputar warung kopi. Menurut ceritanya, para kontraktor itu sebelumnya sering berkumpul dan ngopi bareng di Dek Mi SMEA, Lampineung. Namun setelah Dek Mi memasang fasilitas wifi, mereka beralih ke Cut Nun.
"Setelah ada wifi, sudah banyak anak-anak muda yang gabung di sana, makanya kontraktor itu pindah," ujar Rizki.
Sementara salah satu warung kopi bubuk Ulee Kareng tertua di Banda Aceh, Warung Kopi Jasa Ayah 'Solong' Simpang Lima Ulee Kareng umumnya diminati oleh para pekerja media dan pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Para remaja lebih banyak berkumpul di Black and White Coffee, Seutui. Selebihnya banyak juga warung kopi yang penikmatnya bercampur golongan baik muda maupun tua, baik pegawai negeri sipil maupun pekerja wiraswasta.
Kini, rapat untuk merencanakan sebuah pergerakan bersama di Aceh sudah lazim dilakukan di warung kopi. Berbagai aksi pun lahir dari hasil rapat di meja warung kopi. Misalnya saja; kampus vandekmi. Mereka yang terlibat dalam kampus vandekmi umumnya para aktivis dan mahasiswa yang nyaris tiap hari bergabung di warung kopi Dek Mi Rukoh.
Seorang teman pernah menceritakan bahwa mereka setiap ada waktu luang selalu berkumpul di Dek Mi untuk membahas suatu persoalan, khususnya malam hari. Bahkan menurutnya, lazimnya sebuah kampus dipimpin oleh rektor, di kampus vandekmi mereka juga punya seorang yang dipanggil sebagai rektor vandekmi.
"Vandekmi bagi kami ibarat pendidikan non-formal," katanya.
Tidak hanya sebatas diskusi dan seminar di kalangan mahasiswa dan para aktivis saja, bahkan rapat-rapat pejabat baik birokrat maupun legislatif kini cenderung diadakan di warung kopi. Khususnya rapat-rapat kecil dan ringan bahasannya.
Begitu juga dengan aksi-aksi mencari dukungan massa dan penggalangan dana. Pentas-pentas amal kerap dilakukan di sebagian warung kopi untuk penggalangan dana suatu aksi kemanusiaan. Bahkan celengan untuk menggalang dana juga kerap ditempatkan di warung kopi seperti saat aksi mengumpulkan koin untuk Prita.
Warung kopi di Aceh seakan telah mengalami perubahan. Warung kopi yang semestinya sebagai tempat minum kopi telah menjadi tempat bermusyawarah. Buktinya, berbagai macam acara/event kini diadakan di warung-warung kopi.
Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan warung kopi sudah menjadi tempat untuk melangsungkan musyawarah layaknya sebuah aula dan balai desa. Warung kopi telah menjadi tempat diadakannya diskusi, seminar, rapat, galang dukungan dan perkumpulan lainnya.
Banyak artikel yang mengupas mengenai budaya minum kopi bersama (ngopi) di Aceh menyebutkan bahwa ngopi sudah membudaya sejak lama di Aceh. Namun artikel-artikel tersebut kurang jelas menyebutkan periodisasinya.
Taufik Al Mubarak di blognya menuliskan, menurut sejarawan Aceh Mohd Harun, dulu di masa perang dengan Belanda, orang Aceh sering berkumpul untuk membicarakan strategi perang atau berdiskusi. Jadi, sambil minum kopi, juga mengatur siasat perang. Kopi yang diminum itu, dimasak dulu sehingga segala kuman hilang.
Sebuah warung kopi di Banda Aceh [sumber foto facebook warong rumoh aceh] |
Kalau demikian, berarti budaya ngopi sudah menjadi menjadi ajang dialog sejak zaman kesultanan Aceh. Dan di saat ngopi itulah mereka saling berbagi ide dan pemikirannya.
Juga bukan tidak mungkin kejayaan Aceh tempo dulu diawali dari perbincangan di warung kopi. Sehingga waktu itu kita kenal Iskandar Muda yang hebat dalam mengatur kesultanan, lahirnya pujangga-pujangga ternama, dan majunya mazhab-mazhab pemikiran Islam. Semua itu kiranya tidak terlepas dari tumbuhnya perbincangan-perbincangan di kedai-kedai kopi.
Tempo dulu, umumnya rakyat Aceh mengadakan musyawarah setidaknya di meunasah dan masjid. Berbagai musyawarah demi gampong selalu diadakan di meunasah. Meunasah berfungsi sebagai pusat perkumpulan dan informasi.
Seorang doktor Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga, Muhammad Nur Ichwan pernah menuliskan di dinding facebooknya, "Aceh baru dari warung kopi."
Ichwan sudah beberapa kali membuat penelitian di Aceh. Aku pernah mendampinginya selama dia berada di Banda Aceh. Ia meneliti tentang pelaksanaan syariat Islam dan aksi pro-kontranya.
Membaca status facebook-nya, membuat aku harus bertanya kepadanya. Kenapa berpendapat demikian?
"Karena di warung kopi itu berkumpulnya semua kalangan orang di Aceh," ujarnya.
Menurutnya, banyak kalangan di Aceh sekarang yang memilih untuk membahas bermacam persoalan di warung kopi.
Ketika di Banda Aceh, ia pernah terlibat langsung dalam sejumlah pertemuan di warung kopi. Setidaknya doktor UIN Kalijaga itu pernah diundang ke Bandar Kupi di Lamgugop oleh teman-temannya dari lembaga penerbitan Bandar Publishing.
Sembari minum kopi bersama, Ichwan terlibat saling berdiskusi dan berbagi informasi dengan lima pekerja Bandar Publishing. Di akhir pertemuannya, dia memberikan apresiasi positif atas diskusi di warung kopi malam itu.
"Masa kejayaan Aceh suatu waktu akan terwujud dari persatuan-persatuan di meja kopi," tegasnya.
Hasilnya, bermacam keputusan dan kebijakan lahir dari sebuah warung kopi. Warung kopi pun kini tak lagi sekadar tempat ngopi. Namun warung kopi telah berubah menjadi tempat bermusyawarah, tempat mencetuskan hal-hal kecil dan besar dan sekaligus menjadi tempat pengambilan keputusan.
Forum di warung kopi telah menjadi layaknya forum resmi seperti di meunasah atau kantor. Sehingga aksi-aksi demi sebuah perubahan untuk masa depan Aceh menuju lebih baik bisa lahir dari meja warung kopi.
Ichwan berpesan agar tidak menganggap remeh pergerakan-pergerakan yang berawal dari warung kopi. Ia menyebutkan, revolusi yang terjadi di Prancis juga berawal dari cafe.
Di Prancis, sebutan untuk kopi dinamakan cafe, Jerman menyebutnya kaffee, di Inggris dikenal coffee, dalam bahasa Arab disebut qahwa.
"Dalam sejarah Islam tempo dulu, di masa kejayaannya juga banyak kedai-kedai kopi," katanya.
Lantas, akankah Aceh baru lahir dari warung kopi? Waktu akan menjawabnya.[h]
0 komentar:
Post a Comment