Kapal di atas rumah. (Sumber foto: Kompas.com) |
Berwisata tsunami di Banda Aceh. Mengingat tsunami lewat objek wisata.
DI JALAN TANJUNG, Kampung Lampulo, terdapat sebuah kapal di atas rumah yang kini ramai dikunjungi orang. Sejatinya kapal itu di laut digunakan oleh nelayan untuk melaut. Tetapi tragedi tsunami pada akhir tahun 2004 silam, telah membuat kapal tersebut terdampar ke situ.
Di bawah
lambung kapal itu terdapat prasasti yang menceritakan kisah singkat mengenai
kapal tersebut. Prasasti itu dituliskan dalam tiga bahasa yakni bahasa Aceh,
Inggris dan Indonesia.
Ya. Melihat kapal di atas rumah
ini membuat kita jadi bisa membayangkan sendiri betapa dahsyatnya tsunami yang
meluluhlantakkan Aceh. Letak dan bentuk asli kapal itu dibiarkan tanpa
diubah-ubah oleh Pemko Banda Aceh. Pemilik rumahnya pun tidak keberatan kapal
tersebut dijadikan objek wisata sejarah.
Saat tsunami terjadi, kapal yang
terdampar dari pelabuhan perikanan/TPI Lampulo yang jaraknya berkisar satu
kilometer ini menjadi tempat perlindungan warga setempat. Mereka naik dan masuk
ke dalam kapal sehingga 59 warga terselamatkan dari bencana terjangan gelombang
tsunami.
Beranjak
sedikit jauh dari kapal atas rumah tersebut, tepatnya di Jalan Sultan Iskandar
Muda seputaran Blang Padang terdapat Museum Tsunami Aceh. Gedung yang
diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2008 itu kini
ramai dikunjungi masyarakat.
Museum Tsunami hasil rancangan arsitek M Ridwan Kamil diharapkan menjadi objek sejarah
dan pusat penelitian tentang tsunami, sekaligus simbol kekuatan masyarakat Aceh
menghadapi bencana tsunami. Juga sebagai warisan kepada generasi mendatang
bahwa di Aceh pernah terjadi bencana tsunami.
Sebelum
memasuki pintu masuk, pengunjung akan melihat sebuah helikopter polisi yang
hancur diterjang tsunami. Lalu mulai memasuki lorong yang sempit, menjulang dan
temaram. Di sisi kiri dan kanan mengalir air dan suara gemuruh air seakan
mengingatkan peristiwa tsunami.
Lalu saya memasuki ruangan yang terdapat
sejumlah bentuk monumen yang
di atasnya terdapat sebuah LCD memperlihatkan foto-foto saat peristiwa tsunami,
seperti bangunan yang hancur, kapal di atas rumah, mayat-mayat bergelimpangan. Melihat
gambar-gambar yang ada di dalam LCD itu hati ini jadi terenyuh.
Ruang berikutnya adalah Ruang
Sumur Doa. Di ruangan ini terdapat ribuan nama-nama korban tsunami. Melihat ke
atas sana ada sebuah cahaya dan tulisan "Allah". Setelah itu saya
naik ke lantai dua dengan melewati jembatan yang di bawahnya terdapat kolam.
Memasuki sejumlah ruang di
lantai dua, tersaji foto-foto bertemakan Aceh baik sebelum, saat dan sesudah tsunami.
Juga ada ruang audio visual yang menyuguhi film saat tsunami melanda Aceh.
Selanjutnya naik ke lantai tiga
terdapat ruangan sebagai memorabilia. Ada beragam benda bekas tsunami tersaji
di sini yang umumnya sumbangan dari warga beserta sejumlah diaroma. Juga ada
ruangan yang memberikan informasi tentang tsunami dan bencana lainnya serta
ruang simulasi gempa.
Keluar dari Museum Tsunami, saya
melanjutkan perjalanan ke objek wisata tsunami kapal apung di Desa Punge Blang
Cut, yang berjarak sekitar 1 kilometer.
Kapal apung. (Sumber foto: Acehkita.com) |
Memasuki pelataran monumen kapal
PLTD apung, pengunjung dianjurkan untuk mengisi buku tamu dan memberikan
kesannya. Di sisi kiri pintu masuk, sebuah prasasti pengingat tsunami berdiri.
Di sana tertulis nama-nama korban tsunami dari desa tersebut.
Kapal besar itu juga menjadi
bukti kedahsyatan tsunami. Saat tsunami datang, kapal berbobot 2.500 ton dengan
panjang 63 meter yang difungsikan sebagai pembangkit listrik di lepas pantai
Ulee Lheu ini digiring ombak raya ke tengah permukiman warga.
Naik ke atas kapal, pengunjung
akan tahu betapa jauh kapal itu terseret arus tsunami. Sebab dari geladak
setinggi 20 meter lebih akan terlihat laut dan dermaga Ulee Lheu tempat dasar
kapal itu bersandar.
Turun dari kapal PLTD apung,
berjalan ke arah Pelabuhan Ulee Lheu di persimpangan hendak menaiki jembatan,
terdapat Masjid Baiturrahim di sebelah kiri jalan. Masjid ini satu dari sedikit
bangunan yang tetap kokoh berdiri meski dihantam gelombang tsunami.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue. (Sumber foto: Acehkita.com) |
Kawasan Ulee Lhee, tempat masjid
itu berdiri, yang berada persis di tepi laut salah satu wilayah yang parah
terkena dampak tsunami. Umumnya bangunan di wilayah ini rata dengan tanah
dihantam air bah. Ribuan jiwa menjadi korban. Tetapi masjid itu tetap kokoh
berdiri di tengah hamparan puing bangunan sekitarnya, hanya kubahnya saja yang
runtuh.
Kini
keberadaan Masjid Baiturrahim itu pun telah menjadi daya tarik wisata di Banda
Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman. Pengunjung yang datang ke masjid tersebut
umumnya tidak hanya sekadar mengabadikan, namun mereka banyak yang menyempatkan
diri untuk salat di masjid ini.[@husainiende]