Menyusuri Sejarah di Museum Aceh
Selasa sore itu, Mita bersama tiga temannya berkunjung ke Museum Aceh. Mereka datang untuk melihat langsung perhelatan pameran kesejarahan 100 Tahun Museum Aceh yang digelar di museum yang beralamat di Jalan SA Mahmudsyah, Kota Banda Aceh.
Mita (24 tahun) alumni Universitas Syiah Kuala mengaku dirinya bersama teman-teman sengaja datang dari Darussalam ke museum. “Kami ingin melihat dan tahu tentang benda-benda bersejarah Aceh yang dipamerkan disini. Sebagaimana orang Aceh harusnya kita tahu tentang benda-benda sejarah kita sendiri,” ujarnya.
Di komplek Museum Aceh, mereka mengawalinya dengan melihat-lihat pajangan beragam koleksi milik Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) di kolong Rumoh Aceh. Pajangan koleksi itu di antaranya berupa manuskrip, naskah kuno, foto-foto, buku dan dokumen bersejarah lain sejak masa Kesultanan Aceh hingga era kemerdekaan. Sesekali terlihat mereka berselfie dengan koleksi yang dipamerkan, juga memotret koleksi yang dipajang.
Terhitung selama enam hari, 30 Juli hingga 4 Agustus 2015, Pemerintah Aceh menggelar Pameran Kesejerahan dalam rangka hari jadi 100 Tahun Museum Aceh. Pameran yang dibuka secara resmi oleh Asisten III Pemerintah Aceh, Muzakar A Gani pada Kamis (30/7/2015) mengusung tema “Transformer Peradaban”.
Mewakili Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Muzakar saat membaca kata sambutan mengajak masyarakat agar beramai-ramai datang ke museum ini untuk meningkatkan wawasan terhadap sejarah Aceh dan sejarah nasional.
Museum Aceh termasuk yang tertua di Indonesia. Dahulunya hanya sebuah paviliun berbentuk Rumoh Aceh. Kini usianya saja sudah 100 tahun.
Cikal bakal museum Aceh tersebut adalah paviliun berarsitektur tradisional Aceh yang bernama Rumoh Aceh yang dibangun pada masa penjajah Belanda, tepatnya ketika Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal HNA Swart pada 1914. Mulanya, paviliun tersebut akan digunakan untuk mengikuti Arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonstelling) di Semarang, Jawa Tengah, pada 13 Agustus-15 November 1914.
Paviliun dari Aceh memamerkan koleksi yang sebagian besar milik FW Stammeshaus, kurator pertama Museum Aceh. Selebihnya ada benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga koleksinya paling lengkap.
Paviliun Aceh dinobatkan yang terbaik dalam expo tersebut dengan meraih empat medali emas, 11 perak dan tiga perunggu. Tergugah dengan prestasi itu, Stammeshaus kemudian mengusulkan agar paviliun itu dibawa pulang ke Aceh. Jenderal HNA Swart mengabulkan permintaan itu. Bahkan, ia menjadikan paviliun itu sebagai Museum Aceh pada 31 Juli 1915.
Usai Indonesia merdeka, museum ini jadi milik Pemerintah Aceh. Pada 1969, museum ini dipindah ke sisi Jalan SA Mahmudsyah atas prakarsa Panglima Kodam I, Brigjen Teuku Hamzah Bendahara. Pengelolaannya diserahkan ke Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis).
Lima tahun kemudian museum ini direhabilitasi. Selain Rumoh Aceh, di atas lahan 10.800 meter persegi itu juga mulai berdiri gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer, perpustakaan, laboratorium, gedung galery dan rumah dinas. Koleksinya juga terus ditambah.
Tahun 1975 pengelolaan museum ini diserahkan ke Depertemen Kebudayaan dan Pendidikan. Terhitung 28 Mei 1979, statusnya dinaikkan jadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya oleh Daod Yoesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu pada 1 September 1980.
Baru 20 tahun kemudian kewenangan penyelenggaran museum ini diserahkan ke Pemerintah Daerah Aceh, dan hingga kini masih berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Aceh.
Museum ini tak mengalami kerusakan saat tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004. Namun beberapa karyawannya jadi korban.
Kini Museum Aceh ini menjadi salah satu destanasi yang sering dikunjungi wisatawan di Banda Aceh. Di pekarangan museum ini juga terdapat makam raja-raja Aceh, gapura kuno, dan lonceng Cakradonya hadiah Kaisar Tiongkok kepada Kerajaan Samudera Pasai yang dibawa Laksamana Cheng Ho pada abad 15.
Museum Aceh memiliki ribuan koleksi baik berupa arkeologi, manuskrip, etnografika, seni rupa, geologika, diorama yang menyirat kekayaan budaya, tradisi, flora, fauna, dan lainnya. Benda-benda itu sebagian besar dikoleksi di gedung ruang pamer berlantai empat.
Berbagai koleksi itu bisa menggambarkan jejak perjalanan sejarah peradaban dan kekayaan budaya, tradisi, warisan pusaka di Aceh dari masa ke masa.
Menurut Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, jejak sejarah dan budaya itu bisa dijadikan sarana pembelajaran dan daya tarik pariwisata. Dia mengajak masyarakat terutama generasi muda agar datang ke museum, meningkatkan wawasan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Reza Fahlevi, mengatakan rangkaian kegiatan 100 Tahun Museum Aceh diharapkan bisa mengedukasi masyarakat tentang sejarah, dan menumbuhkan kecintaan terhadap museum. “Kita ingin memberikan informasi dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat bagaimana perjalanan sejarah Aceh,” ujarnya.
Pemerintah Aceh, kata Reza, terus berupaya meningkatkan pelayanan dan menambah koleksi museum sehingga semakin banyak masyarakat yang tertarik berkunjung ke museum. “Museum merupakan pusat ilmu pengetahuan.”
Pameran nasional dalam rangka 100 tahun hari jadi Museum Aceh diikuti enam museum di Indonesia. Selain Museum Aceh, ada Museum Nasional, Museum Kebangkitan Nasional, Museum Sumpah Pemuda, Museum Perumusan Naskah Proklamasi Jakarta, dan Museum Benteng Vrederburg Yogjakarta. Selanjutnya Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh.
Tafsir mimpi kelabang atau lipan oleh mbah jambrong baca disini https://angkamistik.site/tafsir-mimpi-kelabang/
ReplyDelete