Ija Kroeng
Khairul dengan Ija Kroeng-nya. (Foto @ija_kroeng) |
Mendengar nama “Ija Kroeng” tentu tidak asing lagi bagi kita
orang Aceh. Budaya memakai kain sarung -ija
kroeng- sudah kita kenal sejak kanak-kanak sebagai pakaian yang kita pakai
sehari-hari, khususnya saat pergi mengaji dan shalat.
Tradisi berkain sarung dalam keseharian orang Aceh sudah
berlaku secara turun-temurun, tanpa kita tahu pasti sejak kapan asal mulanya. Hanya
saja, kain sarung yang dipakai selama ini umumnya produksi luar Aceh. Dengan
beragam jenis/merek produksinya dan begitu mudah didapatkan di toko-toko kain
dan pedagang pakaian.
Nah, tahukah Anda kalau kini di Aceh sejak Maret lalu sudah
ada kain sarung buatan tangan (hand made)
putra Aceh ini sendiri? Adalah “Ija Kroeng” nama/brand andalan yang diberikan
untuk kain sarung “made in” putra Aceh yang satu ini; Khairul Fajri (35) yang
mengangkat khazanah budaya Aceh.
“Kain sarung itu fashionable, bisa dipakai semua umur,”
jelas Khairul saat ditemui di sela-sela pameran Peringatan 100 Tahun Museum
Aceh, awal Agustus.
Khairul mengaku hand made yang
digagasnya telah punya nama tersendiri yang familiar bagi masyarakat di Aceh,
apalagi konsep promosinya pun sudah menggaet media sosial untuk menarik
minat anak-anak muda.
Dengan alasan
historis yang kuat, ija kroeng bercerita
bahwa sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat Aceh memakai ija kroeng dalam melakukan aktifitas
sehari-hari, khususnya dalam melakukan ibadah.
“Jadi sebutan ija kroeng sudah sangat
familiar di masyarakat Aceh, alhamdulillah brand Ija Kroeng juga
sudah mendaftarkan merek dan logo ke Ditjen HaKI Kemenkumham,” sebut
lelaki yang pernah mengecap pendidikan di Berlin, Jerman.
Uniknya lagi, produk kain sarung yang
diproduksi CV
Berlindo ini hanya memiliki dua warna, yakni hitam dan putih. Tidak
saja kain sarung untuk orang dewasa, teranyar
Khairul memproduksi goodie bag dan shawl.
“Hanya dua warna yang kita produksi saat ini,
hitam dan putih. Apalagi warna hitam itu identik sekali dengan pakaian orang
Aceh dulu. Kita bisa lihat sejarah dan foto-foto orang Aceh jaman dulu, pasti
didominasi oleh warna hitam, mau baju, celana, atau selendang,” sebut Khairul
yang membuka Workshop Ija Kroeng di Residen Danu Broto, Nomor 13
Geuceu Kayee Jatoe, Banda Aceh.
Workshop Ija Kroeng di Geuceu Kayee Jatoe. (Foto iloveaceh.org) |
Tentu kualitas menjadi perhatian serius bagi
Khairul. Bahkan dia berani memberikan garansi benang sampai lima tahun.
Sehingga karena dianggapnya berkualitas, harga satu lembar Ija Kroeng original
yang dijual setiap saat dihargai Rp 162.000 per lembar untuk ukuran dewasa. Dan
Rp 117.000 untuk ukuran anak-anak.
Sementara untuk edisi terbatas (limited edition), satu lembarnya untuk ukuran dewasa dihargai Rp 250.000.
Sementara untuk ukuran anak-anak Rp 210.000 per lembarnya. Warnanya ada yang
merah, hijau dan lainnya. “Dilihar dari pengerjaannya yang edisi terbatas ini
belum juga tergolong mahal, karena untuk edisi ini saya kerjakan sendiri,”
ujarnya.
Usaha kain sarung “made in Aceh” yang
dimulai sekitar bulan Maret 2015 lalu ini, pelan-pelan telah banyak
dikenal oleh kalangan anak muda di Aceh dan tak kalah menariknya juga
banyak dipesan oleh orang-orang luar Aceh.
Kain sarung brand “Ija Kroeng” milik Khairul
aktif dipromosikan dengan menggunakan media sosial twitter dan instagram dengan
mengusung tagline; “kabarkan ke warga
dunia di Aceh ada Ija Kroeng”. Melalui twitter @ija_kroeng, dia
mempromosikan kain sarung buatannya dengan membagikan foto-foto dari akun
instagramnya “ijakroeng”.
Seperti saat Ramadhan dan Idul Fitri sebulan lalu.
“Coming soon, ija kroeng limited edition series for ramadhan & idul fitri
1436H @iloveaceh @ILAcrew” twit @ija_kroeng, 19 Juni lalu.
Ruang Workshop Ija Kroeng. (Foto @iloveaceh) |
Lantas akhir pekan lalu, pemilik “Ija Kroeng”
diundang oleh Center for Creative Industry of Syiah Kuala University (CCIS)
dalam sebuah pertemuan untuk membahas kerjasama dalam pengembangan produk kreatif
berbasis kearifan lokal Aceh.
Walaupun banyak
hambatan dan pernah diejek "kain kafan", Khairul sukses memasarkan
produknya ke Medan, Pekanbaru, Jakarta, Kalimantan dan beberapa kota di kawasan
Pulau Jawa. Tidak sampai di situ, ekspor pun sudah dilakukan ke Malaysia,
Jepang, Denmark, Belanda, Swedia dan bahkan Pantai Gading di kawasan Afrika
Barat.
CCIS di laman
facebooknya dituliskan, menjadikan Ija Kroeng sebagai mitra untuk pengembangan
produk kreatif dan innovatif serta akan membantu Ija Kroeng dengan dukungan
sumber daya manusia dari Universitas Syiah Kuala. “Saat ini produk Ija Kroeng sudah dapat diperoleh pada
Out Let CCIS di Library Gift Shop (LGS) Unsyiah di Gedung Perpustakaan Induk.
CCIS juga akan mendorong Ija Kroeng untuk masuk dalam rencana program
Pemerintah Kota Banda Aceh yaitu, Program One Vilage One Product (OVOP),”
tulisnya.[]
0 komentar:
Post a Comment